The Independent Insight

Giving truth a voice

  • Email
  • Facebook
  • Flickr
  • Instagram
  • Phone
  • Twitter
  • Vimeo
  • YouTube
  • Berita
  • Politik
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Reviu
    • Reviu Buku
    • Reviu Filem
    • Reviu Muzik
  • Rencana
  • Podcast
  • Tentang Kami
  • Hubungi Kami

Schumer takes a jab at Netanyahu, calls for elections in ‘Israel’

March 15, 2024 By Editor The Independent Insight

US Senate Majority Leader Chuck Schumer called on Thursday for new Israeli elections, fiercely denouncing Prime Minister Benjamin Netanyahu as an impediment to peace.

Democrat Chuck Schumer, “Israel’s” long-time backer and the highest-ranking Jewish political official, told the Senate that Netanyahu’s administration “no longer fits the needs of Israel” as the war rages on in Gaza.

Schumer claimed that “Israel” was a “democracy” and noted that settlers had a right to choose a leader, but called for a “fresh debate about the future of Israel after October 7,” which he believes is best accomplished via elections.

Schumer considered it a “grave mistake” for the occupation to reject a two-state solution and encouraged mediators to do all necessary to establish a truce, free captives, and provide relief to Gaza.

Last month, the Israeli cabinet issued a statement firmly rejecting the “unilateral recognition of a Palestinian state by the international community.”

He and other Democrats like President Joe Biden himself are under fire from inside the party for Washington’s unflinching support for “Israel,” given the scale of civilian casualty and destruction in the strip.

Schumer also called for the resignation of Palestinian President Mahmoud Abbas, citing it was necessary for a “new generation of Palestinian leaders who will work towards attaining peace with a Jewish State.”

The Senate’s Republican leader, Mitch McConnell, called Schumer’s comments “grotesque, and hypocritical,” since it was hypocritical to interfere in another country’s “democracy,” and “hyperventilate about foreign interference.”

Schumer emphasized the prospect of Washington utilizing its leverage if the Israelis did not alter their direction, emphasizing that if the war coalition remains in power and continues their “dangerous and inflammatory policies that test existing U.S. standards for assistance, then the United States will have no choice but to play a more active role in shaping Israeli policy by using our leverage to change the present course.”

The Democrat accused Netanyahu of being “too willing” to accept the high death toll of civilians in Gaza and emphasized that his behavior and attitude in the genocide was sinking support for “Israel” globally to “historic lows.”

“Israel cannot survive if it becomes a pariah,” Schumer stressed.

US President Joe Biden has made a “strategic mistake” by “bear-hugging” Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu during the current war on Gaza, according to a prominent progressive Democrat and Biden campaign surrogate Ro Khanna.

Elsewhere in his remarks, he criticized the Israeli President for conducting “a callous war” in Gaza, despite his claims of opposition from the United States.

However, his criticisms of Biden’s errors might not be well-received at the White House.

Liz Landers, guest hosting on the One Decision podcast, questioned Khanna about his recent visit to Michigan, where he engaged with leaders of the state’s sizable Arab American community.

“What did they tell you about the Biden administration’s policy with Israel?” Landers questioned.

“They were opposed,” Khanna said, stressing, “………but the bear-hugging of Netanyahu has been a strategic mistake. Netanyahu has conducted a callous war in defiance of the United States”

US President Joe Biden has repeatedly criticized Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu’s handling of the Israeli war against Gaza, The Washington Post reported, highlighting the latest indication revealing Biden’s secured leverage against “Israel”.

Some of the latest indications provided by the Post vary from positions on ceasefire to political meetings.

Source: Al Mayadeen

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Berita

Menelusuri Kegelapan: Bahaya yang Mengintai di Balik Cyber Bullying

January 28, 2024 By Editor The Independent Insight

Oleh: Salwa Mina Jauzaa

Cyber bullying bukan sekadar bentuk pelecehan online; ini adalah ancaman serius yang dapat mengguncang kesejahteraan mental dan emosional. Setiap kata yang dilemparkan di dunia maya memiliki dampak yang mendalam, merobek kepercayaan diri, dan menghancurkan kesehatan mental.

Dalam kegelapan ruang digital, korban cyber bullying sering kali merasa terisolasi, tanpa diberi peluang untuk melarikan diri. Penyerang dapat menyamar di balik layar, menciptakan trauma yang tak terlihat namun sangat nyata. Ini bukan sekadar lelucon atau ejekan; ini adalah pukulan psikologis yang dapat meninggalkan bekas seumur hidup.

Semua orang tidak boleh meremehkan dampaknya terhadap generasi kita. Terlalu banyak jiwa muda yang merasakan beban mental yang berat akibat serangan online tanpa ampun. Oleh karena itu, mari bersama-sama membuka mata, mengakui bahaya cyber bullying, dan menjadi suara bagi mereka yang mungkin terdiam membisu.

Hentikan kegelapan ini dengan bersatu melawan cyber bullying. Kita tidak hanya melindungi satu sama lain, tetapi juga merawat hati dan jiwa muda untuk membentuk dunia maya yang aman dan penuh kasih.

Di tengah lautan dunia maya atau digital, kita hidup bukan lagi sebagai satu kelompok saja, kita adalah Indonesia yang di dalamnya hidup berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan yang sangat beragam dan penuh dengan dinamika sosialnya. Maka sudah pasti membanjirnya interaksi sosial yang bukan hanya terjadi di ruang dunia realitas sebagai citizen di kehidupan nyata, interaksi meluber hingga ke dunia yang lebih bebas dan luas, yaitu dunia digital. Maka dibutuhkan upaya bersama, yang tidak boleh tidak mesti dimulai dari anak muda, dan siswa sebagai generasi terdidik dan diharapkan kontribusinya sebagai agen intelektual yang berdampak positif bagi masyarakat luas.

Campaign anti cyber bullying adalah salah satu yang terbesar yang dapat memberikan dampak. Kampanye anti cyber bullying kita tidak hanya menyasar dan selalu berangkat dari dan tentang teknologi tetapi juga tentang mendidik hati. Mari bersama-sama menciptakan ruang daring yang aman, penuh kasih, dan tanpa kebencian. Mulai dari hati, kita hentikan cyber bullying dan jadikan internet sebagai tempat yang penuh inspirasi dan persaudaraan. Kita tahu bahwa korban cyber bullying tidak menutup kemungkinan diterima dan dialami oleh orang lain, keluarga terdekat kita; anak yang tersayang, ayah, ibu, bahkan diri kita sendiri mungkin sudah merasakan perundungan, intimidasi, persekusi, pelecehan, ejekan yang tak tentu bidikan yang kita terima dan kekerasan yang bahkan di luar akal yang sehat. Cyber bullying mengintai kita, namun kita bisa menjadi netizen yang menghindari dan tidak ikut terlibat ke dalam chattingan atau aksi cyber bullying jenis apa saja yang tidak ada menguntungkan kita sama sekali. Perundungan di dunia maya, terjadi karena kita melibatkan emosi atau perasaan yang berlebih, jika kita menggunakan akal yang sehat, tentu kita tifak akan masuk ke dalam bullying yang tidak bermanfaat tersebut. Sebab, cyber bullying melalui media, dilakukan oleh orang yang berakal sehat, namun didorong oleh kepentingan dan emosi yang meluap-luap.

Menurut saya, orang yang membuly adalah seperti anjing yang menggonggong, kafilah cukup perlu mengucapkan kata-kata yang mengandung logika untuk membungkamnya dan langsung melanjutkan perjalanan. Tentu, seseorang bisa hanya mengabaikannya, tanpa harus menanggapi secara berlebihan. Bahkan jika perlu dalam kasus yang sudah berlebihan, dapat memberikan pelakunya Pelajaran dengan melaporkan tindakan perundungan kepada pihak yang berwajib. Tentu, jika lebih dewasa kita hanya perlu mem-block chattingan dan akses lain terhadap pelaku selamanya.   

Saling menghormati adalah kunci untuk menciptakan budaya daring yang positif. Mari bersama-sama membangun masyarakat maya yang memahami perbedaan dan menghargai keunikan. Ingatlah, setiap kata yang kita pilih di dunia maya memiliki kekuatan besar. Bersama kita kuat, bersama kita hentikan cyber bullying. Ayo jadi bagian dari gerakan ini, karena Indonesia tanpa kebencian adalah Indonesia yang sejati. #MulaiDariHati #IndonesiaTanpaBully

Tak ada yang lebih kuat daripada kebersamaan kita sebagai bangsa. Mari bersatu hati dalam kampanye anti cyber bullying ini. Dalam dunia maya yang penuh potensi, mari jadikan internet sebagai lautan kasih sayang dan penghormatan.

Kita tidak hanya menentang kejahatan daring, tapi kita juga menjadi pelopor perubahan. Ayo, tanamkan nilai-nilai positif di dunia maya, jadikan setiap interaksi sebagai jejak kebaikan. Bersama, kita adalah penjaga kemanusiaan dalam ranah maya.

Indonesia, saatnya kita bangkit dan bersatu melawan ancaman yang menggerogoti kemanusiaan di dunia maya. Tak cukup hanya mengecam, tapi saatnya beraksi! Jangan biarkan kata-kata kejam mewarnai ruang digital kita. Bersama-sama, kita punya kekuatan untuk memutus rantai kebencian.

Mari buat perubahan, jadilah suara bagi yang tidak terdengar. Sebarkan kebaikan, hentikan cyber bullying dengan tindakan nyata. Ini adalah panggilan untuk generasi pemberani yang ingin melihat perubahan sekarang!

Nota: Penulis adalah dari SMA Islam Al-Azhar Bumi Serpong Damai @ Metland.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Rencana

Dalam Kekuasaan: Tak Jarang Yang Hilang Adalah Kemanusiaan

January 11, 2024 By Editor The Independent Insight

Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah, S.Hum.

Tarik-Menarik Kepentingan Pilpres terhadap Asas The Bangalore Principles.

Dalam esai ini saya akan menjelaskan tugas pokok dan fungsi bagaimana mesin kekuasaan dalam bidang kepemimpinan itu selayaknya bekerja. Dengan berbagai analogi dan eksplanasi yang dibutuhkan, agar mata hati setiap kita kembali kepada kesadaran, keluasan hati, sehingga tercipta kemanusiaan. Sehingga keluasan hati tidak diartikan sebagai keluasan kemauan yang melampaui kepantasan.


Mengutip buku Sapta Karsa Hutama yang ditulis oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keaksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi dan menurut saya prinsip Bangalore Principles ini mesti didawamkan kepada seluruh pejabat dan pemangku kekuasaan di bumi Inoensia ini. Beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku, guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai warga negara yang pantas dan tentu wajib dimiliki oleh seluruh pemimpin yang ada di setiap lembaga tanah air ini, baik pemerintah atau lembaga non-pemerintah.


Adalah bentuk kejumudan (kemunduran) ketika seorang yang diberi titipan kuasa untuk memegang dan menjalankan kekuasaan diberikan padanya namun sang pemimpin itu hanya memiliki satu atau dua saja kualitas diri selama dititipi menjadi pemimpin. Sebab, menjadi pemimpin adalah tugas terberat yang secara kontekstual dalam berbagai profesi dan situasinya menuntut kematangan psikologis, moral, sosial, dan intelektual, sekurang-kurangnya demikian.


Tidak bisa tidak, menuntut proses life-long learning, dan kepekaan. Sebagai contoh, dalam sebuah kerja organisasi atau perusahaan seorang pemimpin amat diharapkan tidak memakai kacamata kuda selama ia mengendalikan untuk memberikan perintah, isyarat saat situasi itu mesti butuh belokan, memperlambat kecepatan, meminta berhenti atau menginstruksikan agar menambah laju kecepatan kepada kuda organisasi atau kelompok. Nah, kualitas atau ciri-ciri yang disebutkan di awal tadi mesti bersenyawa ketika memegang tali kekang (horse riding rein) organisasi. Sebab, menjadi layak disebut pemimpin tidak sekadar hanya mempunyai sifat-sifat tertentu seperti karakteristik khas secara fisik, mental, dan kepribadian saja. Selanjutnya karakter sifat tadi sehingga dihubungkan dengan kesuksesan. Akan tetapi, melampaui itu pemimpin diharapkan memiliki pribadi-perilaku yang “mempengaruhi” sehingga diterapkan kepada pengikut serta memiliki kemampuan membaca situasi dan mendiagnostik perilaku manusia atau pengikutnya.


Tidak jarang begitu juga banyak jenis pemimpin seperti di dalam penelitian Pusat Riset dan Survei oleh Universitas Michigan yang berorientasi job-centered secara relatif kaku dan penuh tekanan hanya berfokus pada tugas yang ketat. Dibanding ketika pemimpin yang menerapkan employee-centered sebagai bentuk gaya perilaku seorang pemimpin yang berorientasi pada karyawan; cenderung memperhatikan pertumbuhan, kemajuan dan prestasi pengikut.


Begitu juga temuan dari Fleishman dari Ohio State University (mengutip jurnal Encep Syarifudin) yang meneliti perilaku pemimpin yang mampu membentuk struktur yaitu upaya menjelaskan seluruh cara kerja organisasi bagi pengikut, dan konsiderasi, yaitu mampu menerapkan atmosfir organisasi yang terbuka dan partisipatif bagi pengikut-pengikutnya.


Di dunia organisasi dan perusahaan tidak jarang ditemukan bahwa hampir sering nampak kepemimpinan yang cenderung hanya kepada job-centered yang dalam pendekatan terbaru mengenai penelitian kepemimpinan disebut sebagai gaya kepemimpinan transaksional. Sehingga kadang sukses mencapai program kerja organisasi namun meninggalkan ruang hampa, kering, dan ketidaknyamanan anggota sehingga tidak menutup kemungkinan organisasi akan menemukan “titik jenuh” hingga patah tiba-tiba menemui kemunduran, akhirnya berlanjut pada kegagalan.


Dalam penjelasan yang lain, pemimpin sering tanpa sadar terpaku untuk hanya membentuk dan mempertahankan struktur yang ada, namun kemudian sedikit menerapkan perilaku faktor employee-centered dan membentuk konsiderasi bagi atmosfir organisasi.


Adapun menerapkan faktor-faktor di atas dibutuhkan konsistensi dan kepekaan barak pimpinan, sehingga ruang-ruang partisipatif dan diskusi untuk memecahkan masalah bisa ditemukan bersama.


Karena di satu sisi, organisasi bukanlah teknologi mesin yang mati, namun di dalamnya ada entitas dan divisi makhluk hidup yang butuh dimanusiakan demi kemanusiaan, yang pada dasar dan akhirnya demi mencapai tujuan organisasi.


Itulah mengapa menjadi pemimpin tidak boleh untuk menghindari menyebut “tiada pernah sukses hanya dengan mencukupkan diri pada satu atau dua kemampuan sebagai kualitas saja”. Selain mesti wajib mampu mendiagnosa sifat peribadi dan perilaku diri sendiri, pengikut dan situasi yang tepat untuk diaplikasikan. Di sisi yang sama, karena di zaman era mega narasi disrupsi ini memungkinkan seluruh tatanan sistem kehidupan diberi kesempatan. Organisasi atau perusahaan awalnya kecil bisa maju mengalahkan organisasi yang telah mapan dan memiliki nama besar. Disebabkan teknologi dan informasi menyediakan kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat industri seperti saat ini. Manusia dituntut menjadi semakin cepat dan efisien, kadang menyembelih kemanusiaan demi alasan untuk merealisasikan kecepatan dan efisiensi tadi.


Kekuasaan kemudian menemui titik persaingan di depan gelanggang kecepatan. Ketika seseorang sedang semangat dan ambisius tanpa jeda berlari maraton di medan laga, tidak jarang ia akan lupa kepada batasan, dan kawannya, apalagi kepada orang-orang yang dianggap lawan. Di situlah, kekuasaan menawarkan kenyamanan dan ke-melarut-an tiada henti, hingga sebenarnya kita sadar bahwa apa yang sedang kita cari tak lebih membentuk menjadi lingkaran; mencari untuk mencari. Menemukan kebenaran tak lebih penting dibanding mencari kebenaran. Perjalanan tiada henti, yang ada hanya letih dan dahaga kekeringan, dan kekasaran pada jiwa. Ketika kita hanya mendapatkan kepuasan fisikal-ragawi. Tidak terpenuhi dua-duanya.


Olehnya kepemimpinan adalah suatu proses. Tidak pakem dan tetap dalam pendekatan dan metodenya untuk semua situasi, setiap zaman akan membutuhkan pendekatan demi pendekatan lainnya sendiri yang sesuai dan tepat bagi konteksnya, terlebih dahulu pemimpinnya memiliki kapasitas dan kapabilitas kematangan psikologis, moral-spiritual, emosional, memiliki kepekaan sosial dan tak lupa mempunyai intelektual, untuk menyebutnya dalam istilah lain sebagai pemimpin transformasional. Seorang pemimpin yang tidak hanya memiliki dirinya sendiri, namun mempertimbangkan juga memberikan stimulus intelektual kepada para pengikutnya. Tidak lupa, seorang pemimpin harus bisa melihat kepatutan, mana aspek-aspek yang sensitif dan jelas dilarang oleh undang-undang dan mana hal-hal yang jelas dan dilegitimasi oleh aturan juga undang-undang di tanah air ini.


Pilpres tinggal menghitung hari. Sedang tarik-menarik kepentingan dan buzzers setiap paslon kiat tajam nan terkadang di luar akal sehat yang patut. Saling curiga, saling salah menyalahkan, hingga saling lapor hingga mempidanakan satu sama lain. Padahal setiap calon pemimpin, biasanya adalah cermin rakyatnya dan lingkungannya. Jika pilpres nanti akhirnya menghasilkan penguasa yang cenderung hanya menguntungkan diri, kelompok bahkan keluarganya sendiri, maka kita jauh dari cita-cita bangsa ini untuk dapat menemukan penguasa yang bertubuh dan berpikiran Sapta Karsa Hutama. Media sosial dibanjiri, fakta dan emosi. Kita tidak bisa hanya mencari data dengan hanya melalui satu sumber tertentu, sebab sekarang ini ujaran kebencian dan tarik menarik kepentingan sedang berlangsung dengan tajam dan Nampak jelas. Maka, dalam pilpres kita mengharapkan terpilihnya seorang pemimpin yang dalam pahit walaupun merugikan dirinya sendiri, namun ia akan tetap terus mementingkan kepentingan jutaan rakyatnya sendiri.


Akhirnya, selalu saja di atas organisasi atau perusahaan, bahkan negara mesti selalu berdiri di atas asas kemanusiaan; tak boleh hilang atau sengaja tidak diberikan, apalagi pura-pura lupa agar dihilang-hilangkan, pun atau lupa diri setelah duduk di kursi kekuasaan yang hanya punya periode atau sementara saja.

Tentang Penulis

Muhammad Syarif Hidayatullah, S.Hum. merupakan penyair sehimpun opus puisi bertajuk “Secarik Rindu untuk Tuhan” (2019), Esais, lulusan Summa Cumlaude di jurusan Bahasa & Sastra Inggris, UIN Alauddin Makassar. Beliau juga adalah Direktur Eksekutif @salajapustaka Institute.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Rencana Tagged With: Indonesia, Kepimpinan, pilpres, The Bangalore Principles

Breaking Silence: Gaza Strips Race Against Genocide

October 31, 2023 By Editor The Independent Insight

Oleh: Mansurni Abadi

Stand on the battlefront of your dream and fight for it.

Mahmoud Darwish


Lets talk about Gaza, again and again. Over the past decade, Gaza’s socioeconomic situation has been declining due to Israel’s blockade, which severely restricts market access and movement. This has led to a population dependent on international assistance, resulting in impoverishment and de-development of a skilled society.


It is clear that the people of Gaza, who live in the world’s largest open-air prison, have the right to break free from the apartheid government during the 7 October uprising. This is true no matter what their plan is. So far, the water supply in Gaza has been poisoned, their economy has been strangled, and they are regularly bombed. For the Palestinian people, war is something they live with every day.


The Palestinian people have demonstrated their resilience against a brutal occupation system aiming for ethnic cleansing and displacement. Israeli bombings have destroyed residential buildings, markets, journalistic offices, hospitals, and UN facilities, resulting in hundreds of Palestinian civilian deaths, many of which are children.
Israel continues its plan of destruction, aiming to terrorize the civilian population. A total siege on Gaza has been announced, resulting in no electricity, food, water, or fuel. This is part of a broader strategic plan carried out by the Zionist occupying force for over 75 years, including settler-colonialism, apartheid, and denying the right of return to the Palestinian diaspora.


For those of us who stand in solidarity with Palestine, it is crucial to counter the unilateral narrative that the press, western media, and western governments are disseminating, which delegitimizes the Palestinian struggle and makes them complicit in the massacre of civilians perpetuated by the Israeli government.


The conflict between Israel and the Palestinians is referred to as ubi maior minor cessat, meaning “where there is the greater, the lesser decays” or “in the presence of those with more power, those with less lose their relevance.” The Zionist State of Israel is the oppressor, while the Palestinian people are the oppressed. The Israeli military has advanced technology, while the Palestinians use simple weapons to protect themselves. Since the Nakba massacre in 1948, Palestinian land has been taken away through illegal settlements, abuse, violence, military repression, and destruction of homes and land.

We also need to remember, Israel’s military industrial complex uses Palestinian territories as a testing ground for weaponry and surveillance technology, which they export to despots and democracies worldwide. For over 50 years, the occupation of the West Bank and Gaza has provided the Israeli state with valuable experience in controlling the Palestinian population. Antony Loewenstein, author of Disaster Capitalism, uncovers this hidden world through secret documents, interviews, and on-the-ground reporting. Palestine has become the perfect laboratory for the Israeli military-techno complex, involving surveillance, home demolitions, indefinite incarceration, and brutality. Israel has become a global leader in spying technology and defense hardware, fueling the world’s most brutal conflicts. As ethno-nationalism grows in the 21st century, Israel has built the ultimate model for such conflicts.

The urgent genocidal situation in Palestine requires global solidarity to restrain the Israeli war machine. Immediate action is needed to prevent the arming of the Israeli state and companies involved in the blockade’s infrastructure, regardless of location. Because now, the next day, or in future, the Palestinians are racing against genocide.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Politik

Kultura Podcast EP#42 : Menziarahi masyarakat orang asli RPS Air Banun

June 23, 2023 By Editor The Independent Insight

Pada minggu lepas, kami di Kultura Podcast berkesempatan untuk turut serta di sebuah program yang dianjurkan oleh pihak NGO HALUAN di perkampungan orang asli Air Banun, Gerik, Perak. Pada episod kali ini, kami akan mengupas tentang pengalaman kami dan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat orang asli di sana. 

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Podcast

Kultura Podcast#41 – Kopitalk Edisi 3.0

June 15, 2023 By Editor The Independent Insight

Pada Kopitalk kali ini, kami akan mengupas beberapa perkara yang sering dimuat naik di media sosial sejak kebelakangan ini seperti berita rampasan jam LGBT oleh pihak KDN, isu mahkamah berkenaan larangan penggunaan kalimah Allah, pengalaman menghadiri mesyuarat PIBG dan budaya kerja generasi Z.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Podcast

Kultura Podcast #40 : Caruman KWSP 20%

June 15, 2023 By Editor The Independent Insight

Baru-baru ini, Perdana Menteri Malaysia yang ke-10 telah mengeluarkan sebuah cadangan untuk menaikkan peratusan caruman majikan dari 12% dan 13% ke 20%. Walaupun cadangan ini masih diperingkat awal, namun beberapa pihak yang membawa suara majikan telah tampil memberikan pendapat mereka.

Pada episod kali ini, kami akan membincangkan cadangan baharu ini dari pelbagai sudut pandang yang berbeza dan sekali gus membandingkan sistem pencen yang terdapat di Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara yang lain.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Podcast

Kultura Podcast #39: Boabdil – Kisah tragis Sultan Nasrid yang terakhir di Sepanyol

June 15, 2023 By Editor The Independent Insight

Abu Abdallah Muhammad XII atau dikenali sebagai Boaabdil dari kaca mata sejarawan Eropah, merupakan sultan terakhir dari Bani Nasr yang suatu ketika dahulu pernah memegang tampuk pemerintahan empayar Islam di Granada, Sepanyol. Namanya sering dimuatkan dalam teks-teks sejarah sebagai seorang pemimpin yang lemah dan pengecut, sehingga menyebabkan kerajaan Islam tidak lagi bertapak di Iberia selepas jatuh ke tangan Monarki Katolik Sepanyol

Pada episod kali ini, kami akan merungkai dan membincangkan sudut pandang kami terhadap Boabdil dan keadaan Sepanyol dibawah pemerintahan Ferdinand II.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Podcast

Kultura Podcast #38 – Kelemahan sistem pembelajaran di Rusia dan industri maritim Malaysia

June 15, 2023 By Editor The Independent Insight

Episod yang kami siarkan minggu lalu telah mengundang pelbagai persepsi dari banyak pihak. Kami di Kultura Podcast akan sentiasa meraikan perbezaan pendapat dan buah fikiran. Kami percaya setiap perbezaan itu jika dilihat dengan minda yang terbuka dan dari perspektif yang berbeza, kita akan sentiasa belajar sesuatu.

Untuk berlaku adil, pada episod kali ini, Kultura Podcast telah menjemput salah seorang profesional didalam bidang Maritim di Malaysia dan beliau juga merupakan salah seorang graduan kejuruteraan dari Rusia.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Podcast

Kultura Podcast #37 – Belajar di Rusia merapu dan mengundang penyesalan?

June 15, 2023 By Editor The Independent Insight

Beberapa hari lepas, Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia mengumumkan bahawa  kerajaan Rusia bersedia untuk menawarkan biasiswa kepada mahasiswa Malaysia yang layak untuk menyambung pengajian di negara itu. Namun terdapat segelintir sentimen negatif yang tular di media sosial tentang program pembelajaran ini.

Sebagai graduan dari Rusia, kami ingin mengambil kesempatan pada episod kali ini untuk berkongsi pandangan tentang sistem pembelajaran di Rusia dan pengalaman kami sebagai mahasiswa di sana.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Podcast

  • « Previous Page
  • 1
  • 2
  • 3
  • 4
  • …
  • 8
  • Next Page »

Recent Posts

  • Ulasan Buku: Feudalisme: Sejarah dan Persejarahan
  • Dar al-Suhyuni: Apabila Ulama Islam Menjadi Neo-Orientalis
  • Alip Moose: “Beginilah Bila Bercakap Tak Tahu Apa-Apa”
  • Pendekatan Dalam Memahami Falsafah Barat Menurut Pandangan Pemikir Islam
  • Naquib al-Attas: Kritikan, Pengalaman dan Syarahan

Archives

Copyright © 2025 The Independent Insight