The Independent Insight

Giving truth a voice

  • Email
  • Facebook
  • Flickr
  • Instagram
  • Phone
  • Twitter
  • Vimeo
  • YouTube
  • Berita
  • Politik
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Reviu
    • Reviu Buku
    • Reviu Filem
    • Reviu Muzik
  • Rencana
  • Podcast
  • Tentang Kami
  • Hubungi Kami

Dalam Kekuasaan: Tak Jarang Yang Hilang Adalah Kemanusiaan

January 11, 2024 By Editor The Independent Insight

Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah, S.Hum.

Tarik-Menarik Kepentingan Pilpres terhadap Asas The Bangalore Principles.

Dalam esai ini saya akan menjelaskan tugas pokok dan fungsi bagaimana mesin kekuasaan dalam bidang kepemimpinan itu selayaknya bekerja. Dengan berbagai analogi dan eksplanasi yang dibutuhkan, agar mata hati setiap kita kembali kepada kesadaran, keluasan hati, sehingga tercipta kemanusiaan. Sehingga keluasan hati tidak diartikan sebagai keluasan kemauan yang melampaui kepantasan.


Mengutip buku Sapta Karsa Hutama yang ditulis oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keaksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi dan menurut saya prinsip Bangalore Principles ini mesti didawamkan kepada seluruh pejabat dan pemangku kekuasaan di bumi Inoensia ini. Beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku, guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai warga negara yang pantas dan tentu wajib dimiliki oleh seluruh pemimpin yang ada di setiap lembaga tanah air ini, baik pemerintah atau lembaga non-pemerintah.


Adalah bentuk kejumudan (kemunduran) ketika seorang yang diberi titipan kuasa untuk memegang dan menjalankan kekuasaan diberikan padanya namun sang pemimpin itu hanya memiliki satu atau dua saja kualitas diri selama dititipi menjadi pemimpin. Sebab, menjadi pemimpin adalah tugas terberat yang secara kontekstual dalam berbagai profesi dan situasinya menuntut kematangan psikologis, moral, sosial, dan intelektual, sekurang-kurangnya demikian.


Tidak bisa tidak, menuntut proses life-long learning, dan kepekaan. Sebagai contoh, dalam sebuah kerja organisasi atau perusahaan seorang pemimpin amat diharapkan tidak memakai kacamata kuda selama ia mengendalikan untuk memberikan perintah, isyarat saat situasi itu mesti butuh belokan, memperlambat kecepatan, meminta berhenti atau menginstruksikan agar menambah laju kecepatan kepada kuda organisasi atau kelompok. Nah, kualitas atau ciri-ciri yang disebutkan di awal tadi mesti bersenyawa ketika memegang tali kekang (horse riding rein) organisasi. Sebab, menjadi layak disebut pemimpin tidak sekadar hanya mempunyai sifat-sifat tertentu seperti karakteristik khas secara fisik, mental, dan kepribadian saja. Selanjutnya karakter sifat tadi sehingga dihubungkan dengan kesuksesan. Akan tetapi, melampaui itu pemimpin diharapkan memiliki pribadi-perilaku yang “mempengaruhi” sehingga diterapkan kepada pengikut serta memiliki kemampuan membaca situasi dan mendiagnostik perilaku manusia atau pengikutnya.


Tidak jarang begitu juga banyak jenis pemimpin seperti di dalam penelitian Pusat Riset dan Survei oleh Universitas Michigan yang berorientasi job-centered secara relatif kaku dan penuh tekanan hanya berfokus pada tugas yang ketat. Dibanding ketika pemimpin yang menerapkan employee-centered sebagai bentuk gaya perilaku seorang pemimpin yang berorientasi pada karyawan; cenderung memperhatikan pertumbuhan, kemajuan dan prestasi pengikut.


Begitu juga temuan dari Fleishman dari Ohio State University (mengutip jurnal Encep Syarifudin) yang meneliti perilaku pemimpin yang mampu membentuk struktur yaitu upaya menjelaskan seluruh cara kerja organisasi bagi pengikut, dan konsiderasi, yaitu mampu menerapkan atmosfir organisasi yang terbuka dan partisipatif bagi pengikut-pengikutnya.


Di dunia organisasi dan perusahaan tidak jarang ditemukan bahwa hampir sering nampak kepemimpinan yang cenderung hanya kepada job-centered yang dalam pendekatan terbaru mengenai penelitian kepemimpinan disebut sebagai gaya kepemimpinan transaksional. Sehingga kadang sukses mencapai program kerja organisasi namun meninggalkan ruang hampa, kering, dan ketidaknyamanan anggota sehingga tidak menutup kemungkinan organisasi akan menemukan “titik jenuh” hingga patah tiba-tiba menemui kemunduran, akhirnya berlanjut pada kegagalan.


Dalam penjelasan yang lain, pemimpin sering tanpa sadar terpaku untuk hanya membentuk dan mempertahankan struktur yang ada, namun kemudian sedikit menerapkan perilaku faktor employee-centered dan membentuk konsiderasi bagi atmosfir organisasi.


Adapun menerapkan faktor-faktor di atas dibutuhkan konsistensi dan kepekaan barak pimpinan, sehingga ruang-ruang partisipatif dan diskusi untuk memecahkan masalah bisa ditemukan bersama.


Karena di satu sisi, organisasi bukanlah teknologi mesin yang mati, namun di dalamnya ada entitas dan divisi makhluk hidup yang butuh dimanusiakan demi kemanusiaan, yang pada dasar dan akhirnya demi mencapai tujuan organisasi.


Itulah mengapa menjadi pemimpin tidak boleh untuk menghindari menyebut “tiada pernah sukses hanya dengan mencukupkan diri pada satu atau dua kemampuan sebagai kualitas saja”. Selain mesti wajib mampu mendiagnosa sifat peribadi dan perilaku diri sendiri, pengikut dan situasi yang tepat untuk diaplikasikan. Di sisi yang sama, karena di zaman era mega narasi disrupsi ini memungkinkan seluruh tatanan sistem kehidupan diberi kesempatan. Organisasi atau perusahaan awalnya kecil bisa maju mengalahkan organisasi yang telah mapan dan memiliki nama besar. Disebabkan teknologi dan informasi menyediakan kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat industri seperti saat ini. Manusia dituntut menjadi semakin cepat dan efisien, kadang menyembelih kemanusiaan demi alasan untuk merealisasikan kecepatan dan efisiensi tadi.


Kekuasaan kemudian menemui titik persaingan di depan gelanggang kecepatan. Ketika seseorang sedang semangat dan ambisius tanpa jeda berlari maraton di medan laga, tidak jarang ia akan lupa kepada batasan, dan kawannya, apalagi kepada orang-orang yang dianggap lawan. Di situlah, kekuasaan menawarkan kenyamanan dan ke-melarut-an tiada henti, hingga sebenarnya kita sadar bahwa apa yang sedang kita cari tak lebih membentuk menjadi lingkaran; mencari untuk mencari. Menemukan kebenaran tak lebih penting dibanding mencari kebenaran. Perjalanan tiada henti, yang ada hanya letih dan dahaga kekeringan, dan kekasaran pada jiwa. Ketika kita hanya mendapatkan kepuasan fisikal-ragawi. Tidak terpenuhi dua-duanya.


Olehnya kepemimpinan adalah suatu proses. Tidak pakem dan tetap dalam pendekatan dan metodenya untuk semua situasi, setiap zaman akan membutuhkan pendekatan demi pendekatan lainnya sendiri yang sesuai dan tepat bagi konteksnya, terlebih dahulu pemimpinnya memiliki kapasitas dan kapabilitas kematangan psikologis, moral-spiritual, emosional, memiliki kepekaan sosial dan tak lupa mempunyai intelektual, untuk menyebutnya dalam istilah lain sebagai pemimpin transformasional. Seorang pemimpin yang tidak hanya memiliki dirinya sendiri, namun mempertimbangkan juga memberikan stimulus intelektual kepada para pengikutnya. Tidak lupa, seorang pemimpin harus bisa melihat kepatutan, mana aspek-aspek yang sensitif dan jelas dilarang oleh undang-undang dan mana hal-hal yang jelas dan dilegitimasi oleh aturan juga undang-undang di tanah air ini.


Pilpres tinggal menghitung hari. Sedang tarik-menarik kepentingan dan buzzers setiap paslon kiat tajam nan terkadang di luar akal sehat yang patut. Saling curiga, saling salah menyalahkan, hingga saling lapor hingga mempidanakan satu sama lain. Padahal setiap calon pemimpin, biasanya adalah cermin rakyatnya dan lingkungannya. Jika pilpres nanti akhirnya menghasilkan penguasa yang cenderung hanya menguntungkan diri, kelompok bahkan keluarganya sendiri, maka kita jauh dari cita-cita bangsa ini untuk dapat menemukan penguasa yang bertubuh dan berpikiran Sapta Karsa Hutama. Media sosial dibanjiri, fakta dan emosi. Kita tidak bisa hanya mencari data dengan hanya melalui satu sumber tertentu, sebab sekarang ini ujaran kebencian dan tarik menarik kepentingan sedang berlangsung dengan tajam dan Nampak jelas. Maka, dalam pilpres kita mengharapkan terpilihnya seorang pemimpin yang dalam pahit walaupun merugikan dirinya sendiri, namun ia akan tetap terus mementingkan kepentingan jutaan rakyatnya sendiri.


Akhirnya, selalu saja di atas organisasi atau perusahaan, bahkan negara mesti selalu berdiri di atas asas kemanusiaan; tak boleh hilang atau sengaja tidak diberikan, apalagi pura-pura lupa agar dihilang-hilangkan, pun atau lupa diri setelah duduk di kursi kekuasaan yang hanya punya periode atau sementara saja.

Tentang Penulis

Muhammad Syarif Hidayatullah, S.Hum. merupakan penyair sehimpun opus puisi bertajuk “Secarik Rindu untuk Tuhan” (2019), Esais, lulusan Summa Cumlaude di jurusan Bahasa & Sastra Inggris, UIN Alauddin Makassar. Beliau juga adalah Direktur Eksekutif @salajapustaka Institute.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Rencana Tagged With: Indonesia, Kepimpinan, pilpres, The Bangalore Principles

Memahami Ciri dan Corak Kepimpinan Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam

September 27, 2023 By Syed Ahmad Fathi Bin Syed Mohd Khair

Menurut Dr. Tareq Al-Suwaidan, pemimpin paling hebat di dunia adalah Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam.[1] Melihat kepada keadaan umat yang lemah pada hari ini, pembentukan pemimpin merupakan satu elemen yang sangat kritikal dalam membangunkan semula umat Islam. Membentuk pemimpin adalah terlambat jika dimulakan di universiti, ia patut dimulakan lebih awal, menurut Dr. Tareq Al-Suwaidan, umur yang terbaik untuk membentuk pemimpin adalah sekitar 2-6 tahun. Kerana personaliti manusia muncul pada fasa ini, seorang manusia itu mula mengenal nilai dan tertanam keimanannya pada fasa ini. Umur ini juga adalah umur yang paling mudah untuk memperbaiki apa-apa masalah. Oleh itu, dalam pembentangan kali ini, kita akan mengkaji ciri dan corak kepimpinan baginda nabi dalam usaha kita untuk membangunkan pemimpin-pemimpin baharu bagi membangunkan umat Islam.

Maksud dan Definisi Kepimpinan

Kepimpinan boleh didefinisikan sebagai kemampuan menggerakkan manusia untuk menjayakan matlamat. Jadi perkara pertama yang pemimpin perlu ada adalah kemampuan. Bila kita sebut kemampuan, ia berbeza dengan sekadar ilmu atau pengetahuan, seseorang itu tidak menjadi pemimpin hanya dengan membaca 1,000 buah buku. Ada orang dilahirkan dengan kemampuan ini, tetapi jumlah mereka adalah kecil, sebahagian besar manusia tidak dilahirkan dengan kemampuan memimpin tetapi boleh diasuh dan dilatih untuk menjadi pemimpin. Oleh itu, kita perlu mewujudkan medah latihan untuk membentuk kemampuan ini.

Kedua, pemimpin mestilah mempunyai matlamat. Sebab itu Imam Hasan Al-Banna menulis risalah “Ke arah mana kita menyeru manusia”.[2] Namun pengikut mungkin tidak tahu akan matlamat ini, maka pemimpinlah yang perlu menggerakkan mereka ke arah matlamat, sama ada secara disedari atau tidak oleh para pengikutnya. Bagaimana kita mahu menggerakkan manusia? Ada 5 cara, pertama dengan kita memikat mereka, contohnya memberi mereka hadiah atau harta. Kedua adalah  dengan mengugut mereka. Ketiga adalah dengan ucapan umum, seseorang yang mempunyai kemampuan oratori dan pandai bercakap mampu menggerakkan manusia. Keempat adalah melalui pujukan, pujukan mempunyai kesan yang berpanjangan, meski pun pemimpin itu telah tiada. Kelima, untuk menggerakkan manusia adalah dengan menunjukkan contoh dan menjadi model kepada para pengikut. Dari sini, akan kita bahaskan cara yang digunakan Rasulullah untuk menggerakkan manusia.

Ketiga, pemimpin mestilah mempunyai pengikut. Seseorang itu mungkin mempunyai ciri kepimpinan, tetapi dia tidak dapat mengaplikasikannya jika dia tidak mempunyai pengikut yang boleh digerakkan.

Ciri dan Contoh Kepimpinan Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam

Ciri yang paling penting dalam kepimpinan adalah kredibiliti. Dengan kredibiliti, manusia akan mengikuti pemimpin itu tanpa paksaan. Kredibiliti boleh dimaksudkan sebagai pemimpin yang berintegriti, berkata benar, dan dipercayai. Dalam Bahasa Arab kita boleh katakan pemimpin yang mempunyai kredibiliti adalah as-Sodiqul Ameen. Karakter yang berintegriti dan mempunyai akhlak yang baik ini disebut oleh Abul A’la Maududi sebagai unblemished character, dengannya seseorang itu mampu menjadi pemimpin dan juga berkerja sama dalam menggerakkan usaha memperjuangkan Islam.[3] Ciri ini dapat kita lihat pada Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam di mana sebelum baginda diberi risalah, Bani Quraisy menggelar baginda dengan gelaran as-Sodiqul Ameen. Di sini dapat kita fahami bahawa baginda nabi sejak awal lagi merupakan pemimpin yang mempunyai kredibiliti.

Pemimpin yang mempunyai kredibiliti perlulah menjadi penunjuk jalan kepada pengikutnya. Dia mestilah dapat menerangkan nilai-nilai yang dikehendakinya kepada para pengikutnya. Kita dapat melihat perkara ini dalam sirah nabi di mana keseluruhan hidupnya merupakan penerapan nilai-nilai mulia ke dalam diri manusia. Misalnya kita melihat bagaimana Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam menunjukkan nilai tentang bagaimana kita tidak seharusnya berdendam. Perjuangan nabi tidak pernah sepi dari penindasan, bahkan begitu banyak pengikutnya yang dibunuh. Ketika baginda disakiti di Taif, baginda menolak peluang untuk membalas dendam kerana baginda merasakan generasi Taif pada masa itu menolaknya, tetapi kemungkinan anak cucu orang Taif akan menjadi orang-orang yang beriman.

Kita sering mendengar kisah-kisah peperangan nabi, tetapi sebenarnya, menurut kajian, selama 23 tahun kerasulan, baginda hanya menghabiskan 7 peratus dari hidupnya di medan perang. Oleh itu kita perlu sebenarnya lebih mengkaji dan mengetengahkan nilai insan dalam kehidupan baginda. Contohnya kajian yang dibuat oleh Dr. Hesham Al-Awadi yang mengkaji bagaimana Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam berinteraksi dengan anak-anak kecil dan mendidik mereka.[4] Beliau menerangkan bagaimana Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam mendidik anak-anak dengan membina hubungan berasaskan keyakinan, cinta, dan kasih sayang antara ibubapa dan anak. Baginda tidak segan dalam menzahirkan kasih sayangnya kepada anak-anak.[5] Jadi nilai insan ini perlu kita pelajari, untuk menjadi pemimpin yang berkesan dan mampu menonjolkan kredibiliti.

Dalam sirah nabi, kita melihat hampir keseluruhannya adalah keadaan di mana perjuangan pada peringkat awal itu begitu sukar, dan keadaan hidup pada masa itu sangat miskin. Hanya 2 tahun terakhir dalam kehidupan Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam, mereka berada dalam keadaan kemenangan. Dalam satu peperangan, Saidina Umar dan Saidina Abu Bakar berasa sangat lapar, mereka tidak mempunyai makanan dan mengikat perut mereka dengan batu. Mereka kemudian berjumpa dengan nabi untuk mengadu. Kemudian Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam mengangkat bajunya dan memperlihatkan 2 batu yang diikat di perut baginda. Di sini kita melihat bagaimana pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang menunjukkan contoh, dia tidak hanya menyuruh pengikutnya mengharungi kesusahan tetapi dia sendiri bersama melaluinya. Pemimpin bukan sekadar bercakap perihal nilai tetapi melaksanakannya.

Ciri lain pemimpin adalah menginspirasikan. Apabila berdepan dengan masalah, dia tidak hanya merungut, tetapi memberi harapan tentang bagaimana masalah boleh diselesaikan. Dia menceritakan bagaimana masa depan yang baik boleh dikecapi dan membuatkan pengikutnya mempercayai bahawa hal ini boleh dicapai. Jika ini dapat dilakukan, pengikut tidak perlu ditekan atau diberi arahan, mereka akan bergerak dengan sendirinya. Mereka akan mengikuti pemimpin jika mereka mempercayai masa depan ini.

Pemimpin yang membawa manusia kepada sesuatu yang hebat tidak takut kepada cabaran, malah mereka mencari cabaran. Mereka tidak melarikan diri tetapi sentiasa mencari jalan dan menggunakan kretiviti dalam menyelesaikan cabaran. Organisasi yang dibina juga sentiasa berubah dan diperbaiki untuk mengharungi cabaran-cabaran ini. Untuk itu pemimpin akan sentiasa mencari peluang, melakukan eksperimen dan belajar dari pengalaman. Sebelum peristiwa Hijrah, selama 13 tahun dakwah, hanya 150 orang yang memeluk Islam. Sekitar 12 orang setahun. Setelah Abu Talib meninggal dunia, Bani Quraisy mula menyerang baginda. Baginda telah keluar mencari peluang lain dan melakukan eksperimen. Baginda cuba untuk menyebarkan dakwah baginda di Taif 3 tahun sebelum Hijrah. Walaupun peluang ini tidak membuahkan hasil, kita dapati baginda nabi sentiasa mencari peluang dan bersedia berdepan dengan risiko. Baginda kemudian mencuba lagi dengan peluang di Madinah selepas itu yang membuahkan hasil.

Kepimpinan juga adalah usaha bersama, bukan usaha seorang diri tanpa adanya sumbangan dan pandangan dari orang lain. Pemimpin hendaklah menggalakkan kolaborasi dan saling memperkuatkan ahli-ahlinya. Dalam sirah nabi kita melihat adanya sosok kepimpinan seperti Saidina Abu Bakar yang bersifat lembut, juga Saidina Umar yang bersifat keras. Dan mereka berdua saling berbeza pendapat. Mereka mempunyai personaliti yang bertentangan tetapi Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam berjaya menyatukan mereka agar berkolaborasi untuk bekerja untuk Islam. Rasulullah juga tidak menghukum orang yang melakukan kesilapan, kerana jika kita menghukum orang yang mencuba, mereka akhirnya akan berhenti mencuba. Contohnya ketika Khalid Al-Walid melakukan kesilapan dalam peperangan dengan Bani Judaimah. Rasulullah mengakui kesilapan Khalid dan berlepas diri darinya, membayar ganti rugi kepada Bani Judaimah, namun baginda tidak menghukum Khalid atas kesilapannya itu. Di sini kita belajar bahawa kita harus menghukum mereka yang mengulangi kesilapan yang sama.

Ciri seterusnya bagi pemimpin adalah kemampuan untuk membangun dan memotivasikan jiwa manusia. Mengejar matlamat dan berjuang merupakan jalan yang panjang, ramai manusia akan berputus asa, oleh itu pemimpin yang baik hendaklah berupaya membangunkan jiwa manusia agar istiqamah dan cekal berusaha. Ini dapat dilakukan dengan menghargai sumbangan yang dilakukan oleh ahli dan juga meraikan kemenangan-kemenangan yang dikecapi. Selepas satu peperangan, Rasulullah memberi penghargaan dengan memberikan ghanimah kepada seorang sahabat yang berjaya mengalahkan banyak musuh. Tetapi ada orang lain yang mengatakan kepadanya bahawa jika dia telah menerima ganjaran di dunia, dia tidak akan diganjari di akhirat. Sahabat tersebut memulangkan ghanimah itu kepada nabi. Maka nabi bersabda “orang itu telah berdusta, tiada masalah untuk kamu menerima ganjaran di dunia dan akhirat”.

Ciri akhir pemimpin adalah kebolehannya untuk memimpin diri sendiri. La yuhsinul ikhtiyarul li ghairih man la yuhsinul ikhtiyarul linafsih, jika kamu tidak boleh menentukan satu perkara untuk diri mu sendiri, maka kamu tidak boleh menentukan perkara untuk orang lain.

Pelajaran dari Sirah Perang Hunain

Antara kisah sirah yang sangat mengesani diri saya adalah kisah pembahagian rampasan perang ketika Perang Hunain.[6] Kisah ini ada dinukilkan dengan sangat baik dan berkesan oleh Ustaz Salim A. Fillah dalam bukunya.[7] Dari kisah sirah ini kita dapat pelajari banyak corak kepimpinan Nabi Muhammad salla-Allah alaihi wasallam.

Perang Hunain berlaku pada tahun ke-8 Hijrah. Pembukaan kota Mekah telah menimbulkan kegusaran pada kabilah Hawazin dan Thaqif yang tinggal berdekatan dengan Mekah dan tidak menerima Islam. Mereka telah mengumpulkan sekitar 20,000 tentera dan berkumpul berdekatan lembah Hunain. Tentera Islam ketika itu disertai muslimin Mekah yang baru memeluk Islam dan dipimpin oleh Khalid Al-Walid. Pada peringkat awal, tentera Islam dihujani panah, kucar kacir, berpecah dan ada yang melarikan diri. Hingga turun wahyu di dalam Al-Qur’an yang mengabdikan kisah ini pada ayat ke-25 dalam Surah At-Taubah.

Rasulullah telah mengarahkan Abbas bin Abdul Mutalib berteriak dan memanggil semula kaum muslimin. Mereka kemudian berjaya berkumpul semula, dan akhirnya menang melawan musuh. Di sini kita melihat sifat kepimpinan nabi. Walaupun pasukannya kucar-kacir, beliau berjaya menstabilkan keadaan dan membentuk semula kumpulan. Kaum Muslimin telah mendapat harta rampasan perang yang banyak, namun Rasulullah memberikannya kepada muslimin Mekah yang baru memeluk Islam dan ini menyebabkan kaum Ansar berasa tidak puas hati. Rasulullah telah memanggil kaum Ansar dan berkata kepada mereka:

“Bukankah aku datang kepada kamu ketika kamu dalam kesesatan dan Allah memberi petunjuk kepada kamu. Bukankan aku datang kepada kamu ketika kamu miskin kemudian Allah mengkayakan kamu. Bukankah aku datang kepada kamu dalam keadaan kamu berpecah belah sehingga Allah satukan kamu. Bukankah aku datang kepada kamu ketika kamu dikalahkan sehingga Allah memenangkan kamu?”

Setiap pertanyaan Rasulullah dijawab oleh kaum Ansar  “Daripada Allah dan Rasulnyalah segala jasa dan pemberian”.

 Kemudian Rasulullah berkata lagi:

“Kalau kamu mau berkata kepadaku , kamu juga dapat berkata, dan kamu benar dalam perkataan kamu ini. Kamu telah datang kepada kami saat miskin, kami kayakan kamu. Kamu datang diburu kamilah yang mempertahankan kamu.”

Air mata mula berlinang di mata kaum Ansar, mereka mula terisak-isak dan tersedu sedan menangis.

Baginda menyambung:

“Apakah di dalam hati kalian masih ada hasrat terhadap sampah dunia, yang dengan sampah ini, aku ingin mengambil hati segolongan orang yang baru masuk Islam , sedangkan keislaman kalian tidak mungkin aku ragukan? Wahai kaum Ansar, adakah kalian tidak redha jika orang lain pulang dengan kambing dan unta sedangkan kalian pulang membawa Allah dan Rasulnya ke tempat kalian?”

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad dalam genggamannya, kalau bukan kerana Hijrah, tentu aku termasuk dalam golongan Ansar. Jika manusia menempuh satu jalan di celah gunung, dan orang Ansar memilih celah gunung yang lain, tentulah aku akan memilih celah yang dilalui oleh orang Ansar. Ya Allah, sayangilah orang Ansar, anak-anak orang Ansar , dan cucu-cucu orang Ansar.”

Tangisan mereka semakin deras hingga membasahi janggut. Kaum Ansar berkata “Kami redha Allah dan Rasulnya menjadi bahagian kami dalam pembahagian ini.”

Dari sirah ini kita mempelajari beberapa perkara. Pertama, pemimpin itu mestilah mempunyai strategi dalam menguruskan pasukannya. Rasulullah tahu bahawa setiap ahlinya tidak sama. Ada ahlinya yang perlu digerakkan dengan memberi mereka hadiah dan pemberian. Inilah yang dilakukan kepada golongan yang baru memeluk Islam yang mana imannya belum benar-benar mantap. Ada juga ahli yang hanya memerlukan pujukan dan diberikan keyakinan kerana iman mereka telah mantap, seperti kaum Ansar.

Kedua, kita melihat bagaimana Rasulullah menghargai dan mengiktiraf sahabat-sahabat Ansar. Rasulullah faham bahawa iman mereka telah teguh, dengan mengiktiraf sumbangan mereka, hati mereka menjadi lebih teguh untuk berjuang. Ketiga, kita melihat bagaimana Rasulullah mempunyai kredibiliti. Baginda bukan hanya menyuruh orang berjuang tetapi turut sama berjuang, kredibiliti ini membolehkan para sahabat meyakini kata-katanya tanpa perlu diberikan harta atau kekayaan. Di sini kita juga melihat bagaimana Rasulullah bukan sahaja memimpin tetapi membina manusia dengan tarbiyah sehingga mereka mampu berkorban melebihi orang lain.

Penutup

Selepas kewafatan Rasulullah, kita melihat sejarah umat Islam berkembang. Ada ketikanya umat ini mendapat pemimpin yang baik, ada juga ketikanya umat ini mendapat pemimpin yang buruk. Naik turun sejarah umat ini akhirnya menyampaikan kita pada zaman kini di mana tanah-tanah umat Islam telah dipecahkan dan dibahagikan dalam sempadan negara bangsa yang dilukis oleh tangan-tangan kaum kolonialis. Firas Alkhateeb menulis bahawa kita sekarang berada di persimpangan jalan, di mana umat Islam berpecah di hujung sejarah ini dan mencari-cari kaedah bagaimana mereka mahu meneruskan sejarah ini.[8]

Maka di sinilah lahirnya keperluan kita untuk mengkaji semula sirah Rasulullah agar kita dapat belajar dari pemimpin yang paling hebat di dunia. Seperti di Hunain, kita hari ini memerlukan pemimpin yang mempunyai kredibiliti, yang mampu menyatukan semula umat yang berpecah dan berada dalam keadaan yang kucar-kacir. Harapannya, dengan memahami ciri dan corak kepimpinan Rasulullah salla-Allah alaihi wasallam kita mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkualiti untuk membawa umat ini kepada masa depan yang lebih gemilang.

Bibliografi

Al-Banna, Hasan. n.d. Majmu’ah Rasail.

Alkhateeb, Firas. 2014. Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilisation from the Past. Hurst.

Awadi, Hesham. 2018. Children Around the Prophet: How Muhammad Raised the Young Companions. CreateSpace Independent Publishing Platform.

Fillah, Salim A. 2010. Dalam Dekapan Ukhuwah. Pro-U Media.

Sayyid Abul A’la Maududi. 1978. Islamic Movement Pre-Requisites for Success. Aligarh, India: Cresent Publishing Co.

Suwaidan, Tareq. 2014. “Leadership From An Islamic Perspective.” Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia. October 16. Accessed September 23, 2023. https://www.youtube.com/watch?v=5Y9-Qe5WN_4.

Syed Ahmad Fathi. 2022. “Catatan Baitul Muslim 56: Anak-Anak di Sekeliling Nabi.” Meniti Jambatan Masa. July 24. Accessed September 23, 2023. https://bersamakepuncak.blogspot.com/2022/07/catatan-baitul-muslim-56-anak-anak-di.html .

—. 2014. “Dalam Dekapan Ukhuwwah.” Meniti Jambatan Masa. January 31. Accessed September 24, 2023. https://bersamakepuncak.blogspot.com/2014/01/dalam-dekapan-ukhuwwah.html.


[1] Tareq Al-Suwaidan. Leadership From An Islamic Perspective. Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, 16 Oktober 2014. Recording link: https://www.youtube.com/watch?v=5Y9-Qe5WN_4

[2] Hassan Al-Banna. Majmu’ah Rasail.

[3] Sayyid Abul A’la Maududi. Islamic Movement Pre-Requisites for Succes. Cresent Publishing Co, Aligarh, India, 1978. Hlm 17-18.

[4] Hesham Al-Awadi. Children Around the Prophet: How Muhammad Raised the Young Companions. CreateSpace Independent Publishing Platform, 2018.

[5] Syed Ahmad Fathi. Catatan Baitul Muslim 56: Anak-Anak di Sekeliling Nabi. Meniti Jambatan Masa, 24 Julai 2022. Pautan: https://bersamakepuncak.blogspot.com/2022/07/catatan-baitul-muslim-56-anak-anak-di.html

[6] Syed Ahmad Fathi. Dalam Dekapan Ukhuwwah. Meniti Jambatan Masa, 31 Januari 2014. Pautan: https://bersamakepuncak.blogspot.com/2014/01/dalam-dekapan-ukhuwwah.html

[7] Salim A. Fillah. Dalam Dekapan Ukhuwah. Pro-U Media, 2010.

[8] Firas Alkhateeb. Lost Islamic History: Reclaiming Muslim Civilisation from the Past. Hurst, 2014.

Memahami-Ciri-dan-Corak-Kepimpinan-Nabi-Muhammad-salla-Allah-alaihi-wasallamDownload
Syed Ahmad Fathi Bin Syed Mohd Khair
Syed Ahmad Fathi Bin Syed Mohd Khair

Author of several books including Berfikir Tentang Pemikiran (2018), Lalang di Lautan Ideologi (2022), Dua Sayap Ilmu (2023), Resistance Sudah Berbunga (2024), Intelektual Yang Membosankan (2024) and Homo Historikus (2024). Fathi write from his home at Sungai Petani, Kedah. He like to read, write and sleep.

independent.academia.edu/SyedAhmadFathi

Filed Under: Rencana Tagged With: Kepimpinan, Rasulullah, Sirah

Recent Posts

  • Koleksi Refleksi di IABF: Merayakan Seni dan Sastera
  • Book Review: The Devided State: Factional Structures and the Crisis of Democracy (2025) by Joonhong Park
  • Ulasan Buku: Feudalisme: Sejarah dan Persejarahan
  • Dar al-Suhyuni: Apabila Ulama Islam Menjadi Neo-Orientalis
  • Alip Moose: “Beginilah Bila Bercakap Tak Tahu Apa-Apa”

Archives

Copyright © 2025 The Independent Insight