The Independent Insight

Giving truth a voice

  • Email
  • Facebook
  • Flickr
  • Instagram
  • Phone
  • Twitter
  • Vimeo
  • YouTube
  • Berita
  • Politik
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Reviu
    • Reviu Buku
    • Reviu Filem
    • Reviu Muzik
  • Rencana
  • Podcast
  • Tentang Kami
  • Hubungi Kami

Guru Gembul versus Ustadz Nuruddin: Pentingnya Berbicara Sesuai Kapasitas

October 16, 2024 By Editor The Independent Insight

Oleh: Muhammad Nur

Baru-baru ini, dunia maya digemparkan oleh sosok Guru Gembul, seorang guru mata pelajaran PKN dan sejarah di salah satu sekolah di Bandung, yang menjadi viral di media sosial terutama karena konten-kontennya di platform YouTube. Guru Gembul ini dikenal aktif berbicara tentang berbagai topik yang sangat luas mulai dari ilmu agama, sejarah, sains, hingga filsafat. Meski topik-topik tersebut memiliki cakupan yang kompleks dan mendalam, Guru Gembul kerap kali mengangkatnya dengan cara yang terkesan asal-asalan dan tanpa dukungan referensi yang memadai. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai apakah ia sebenarnya berbicara di luar kapasitasnya sebagai seorang guru PKN dan sejarah?

Pada tahun 2023, Guru Gembul menuai kontroversi setelah mengkritik pendidikan di Indonesia dalam gelar wicara di BTV. Lima aktivis pendidikan melayangkan somasi karena menilai kritiknya terhadap kompetensi guru melecehkan profesi tersebut. Guru Gembul kemudian mengklarifikasi bahwa kritiknya ditujukan pada Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK), bukan pada individu guru. Masalah ini akhirnya diselesaikan dengan damai. Di tahun 2024, Guru Gembul kembali memicu kontroversi dengan menyatakan bahwa sistem indrawi manusia tidak layak menjadi sumber informasi terpercaya. Pernyataan ini ditanggapi oleh Abdul Muin Banyal, yang menegaskan bahwa meski indra manusia terbatas, keterbatasan ini justru mendorong inovasi dalam menciptakan alat bantu untuk memperluas kemampuan indra, yang tetap mengandalkan observasi manusia. Bukan berarti indra manusia tidak dapat dijadikan sumber informasi

Belakangan ini, Guru Gembul juga terlibat dalam kontroversi dengan beberapa habib atau habaib terkait masalah nasab Ba’alawi—sebuah topik yang cukup sensitif dalam diskursus Islam. Kemudian baru-baru ini, dalam pernyataannya, Guru Gembul menantang publik dengan argumen bahwa akidah tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Tantangan ini mendapat tanggapan dari Ustadz Nuruddin, seorang tokoh yang memiliki latar belakang ilmu agama yang mumpuni. Ustadz Nuruddin akhirnya mengundang Guru Gembul untuk berdebat secara langsung mengenai topik yang dia lontarkan.

Namun, ketika debat antara keduanya berlangsung, Guru Gembul tampak tidak siap menghadapi hujan referensi dan dalil yang dibawakan oleh Ustadz Nuruddin. Alih-alih merespons dengan argumen yang terstruktur dan berbasis ilmu, Guru Gembul lebih banyak membahas hal-hal di luar topik debat, mengalihkan pembicaraan, dan bahkan tidak menghormati moderator yang bertugas menjaga kelancaran diskusi. Gaya berbicaranya yang terkesan asal, tanpa dasar yang kuat, serta kurangnya referensi ilmiah yang mendukung pernyataannya, semakin memperlihatkan bahwa ia tidak memiliki pemahaman mendalam mengenai topik yang sedang dibahas.

Debat ini menjadi contoh yang jelas tentang pentingnya berbicara sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki. Guru Gembul, dengan latar belakang sebagai seorang guru PKN dan sejarah, tentunya memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Namun, ketika ia mencoba membahas topik yang berada di luar bidang keahliannya, seperti akidah dan nasab dalam Islam, tanpa dasar ilmu yang kuat atau referensi yang memadai, hasilnya adalah pernyataan-pernyataan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inilah yang menyebabkan perdebatan tersebut menjadi tidak produktif dan tidak menghasilkan kesimpulan yang bermanfaat.

Peran seorang guru atau pendidik seharusnya menjadi teladan dalam berbicara dan berargumen berdasarkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan. Sayangnya, Guru Gembul tidak hanya mengabaikan hal ini tetapi juga cenderung memaksakan opininya tanpa memberikan ruang untuk dialog yang sehat dan ilmiah. Sebaliknya, Ustadz Nuruddin dalam perdebatan tersebut tetap berpegang pada data, referensi, dan argumen yang logis, meskipun upayanya untuk menjelaskan sering kali terganggu oleh respons yang tidak relevan dari lawan debatnya.

Kontroversi ini menggarisbawahi pentingnya bagi setiap individu untuk berbicara sesuai dengan kapasitasnya, terutama ketika mengangkat topik yang berhubungan dengan ilmu agama atau hal-hal yang memerlukan pemahaman mendalam dan kajian yang serius. Dalam dunia akademis maupun kehidupan sehari-hari, adalah hal yang bijak untuk mengakui keterbatasan diri dan menyerahkan pembahasan topik-topik tertentu kepada mereka yang benar-benar ahli di bidangnya.

Berbicara tanpa kapasitas yang memadai tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga dapat menyesatkan orang lain yang mungkin mempercayai informasi yang disampaikan. Ketika seseorang dengan kepercayaan diri yang tinggi menyampaikan argumen yang tidak didasari ilmu atau referensi yang tepat, dampaknya bisa memicu kebingungan bahkan kesalahpahaman di kalangan publik.

Oleh karena itu, permasalahan ini seharusnya menjadi pembelajaran penting bagi kita semua tentang pentingnya berbicara sesuai dengan kapasitas kita. Menghargai ilmu pengetahuan, bersedia belajar dari orang-orang yang lebih ahli, serta selalu mencari referensi yang tepat adalah kunci untuk memastikan diskusi atau perdebatan yang sehat dan produktif. Mari kita jadikan momen ini sebagai pengingat untuk tidak terjebak dalam fanatisme opinional tanpa dasar dan selalu berusaha untuk berbicara dengan landasan yang kokoh.

Tentang Penulis

Muhammad Nur merupakan seorang mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Arab di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Motivasi utama beliau dalam menulis adalah untuk memberikan manfaat, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain. Beliau percaya bahwa tulisan memiliki kekuatan untuk menyebarkan ilmu, menggugah pemikiran, dan mendorong perubahan positif dalam masyarakat. Dengan semangat ini, beliau berusaha menjadikan setiap karya beliau sebagai kontribusi yang berarti, baik dalam ranah akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Berita Tagged With: Guru Gembul, Indonesia, Ustadz Nuruddin

Dalam Kekuasaan: Tak Jarang Yang Hilang Adalah Kemanusiaan

January 11, 2024 By Editor The Independent Insight

Oleh: Muhammad Syarif Hidayatullah, S.Hum.

Tarik-Menarik Kepentingan Pilpres terhadap Asas The Bangalore Principles.

Dalam esai ini saya akan menjelaskan tugas pokok dan fungsi bagaimana mesin kekuasaan dalam bidang kepemimpinan itu selayaknya bekerja. Dengan berbagai analogi dan eksplanasi yang dibutuhkan, agar mata hati setiap kita kembali kepada kesadaran, keluasan hati, sehingga tercipta kemanusiaan. Sehingga keluasan hati tidak diartikan sebagai keluasan kemauan yang melampaui kepantasan.


Mengutip buku Sapta Karsa Hutama yang ditulis oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bahwa “The Bangalore Principles” yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keaksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi dan menurut saya prinsip Bangalore Principles ini mesti didawamkan kepada seluruh pejabat dan pemangku kekuasaan di bumi Inoensia ini. Beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku, guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai warga negara yang pantas dan tentu wajib dimiliki oleh seluruh pemimpin yang ada di setiap lembaga tanah air ini, baik pemerintah atau lembaga non-pemerintah.


Adalah bentuk kejumudan (kemunduran) ketika seorang yang diberi titipan kuasa untuk memegang dan menjalankan kekuasaan diberikan padanya namun sang pemimpin itu hanya memiliki satu atau dua saja kualitas diri selama dititipi menjadi pemimpin. Sebab, menjadi pemimpin adalah tugas terberat yang secara kontekstual dalam berbagai profesi dan situasinya menuntut kematangan psikologis, moral, sosial, dan intelektual, sekurang-kurangnya demikian.


Tidak bisa tidak, menuntut proses life-long learning, dan kepekaan. Sebagai contoh, dalam sebuah kerja organisasi atau perusahaan seorang pemimpin amat diharapkan tidak memakai kacamata kuda selama ia mengendalikan untuk memberikan perintah, isyarat saat situasi itu mesti butuh belokan, memperlambat kecepatan, meminta berhenti atau menginstruksikan agar menambah laju kecepatan kepada kuda organisasi atau kelompok. Nah, kualitas atau ciri-ciri yang disebutkan di awal tadi mesti bersenyawa ketika memegang tali kekang (horse riding rein) organisasi. Sebab, menjadi layak disebut pemimpin tidak sekadar hanya mempunyai sifat-sifat tertentu seperti karakteristik khas secara fisik, mental, dan kepribadian saja. Selanjutnya karakter sifat tadi sehingga dihubungkan dengan kesuksesan. Akan tetapi, melampaui itu pemimpin diharapkan memiliki pribadi-perilaku yang “mempengaruhi” sehingga diterapkan kepada pengikut serta memiliki kemampuan membaca situasi dan mendiagnostik perilaku manusia atau pengikutnya.


Tidak jarang begitu juga banyak jenis pemimpin seperti di dalam penelitian Pusat Riset dan Survei oleh Universitas Michigan yang berorientasi job-centered secara relatif kaku dan penuh tekanan hanya berfokus pada tugas yang ketat. Dibanding ketika pemimpin yang menerapkan employee-centered sebagai bentuk gaya perilaku seorang pemimpin yang berorientasi pada karyawan; cenderung memperhatikan pertumbuhan, kemajuan dan prestasi pengikut.


Begitu juga temuan dari Fleishman dari Ohio State University (mengutip jurnal Encep Syarifudin) yang meneliti perilaku pemimpin yang mampu membentuk struktur yaitu upaya menjelaskan seluruh cara kerja organisasi bagi pengikut, dan konsiderasi, yaitu mampu menerapkan atmosfir organisasi yang terbuka dan partisipatif bagi pengikut-pengikutnya.


Di dunia organisasi dan perusahaan tidak jarang ditemukan bahwa hampir sering nampak kepemimpinan yang cenderung hanya kepada job-centered yang dalam pendekatan terbaru mengenai penelitian kepemimpinan disebut sebagai gaya kepemimpinan transaksional. Sehingga kadang sukses mencapai program kerja organisasi namun meninggalkan ruang hampa, kering, dan ketidaknyamanan anggota sehingga tidak menutup kemungkinan organisasi akan menemukan “titik jenuh” hingga patah tiba-tiba menemui kemunduran, akhirnya berlanjut pada kegagalan.


Dalam penjelasan yang lain, pemimpin sering tanpa sadar terpaku untuk hanya membentuk dan mempertahankan struktur yang ada, namun kemudian sedikit menerapkan perilaku faktor employee-centered dan membentuk konsiderasi bagi atmosfir organisasi.


Adapun menerapkan faktor-faktor di atas dibutuhkan konsistensi dan kepekaan barak pimpinan, sehingga ruang-ruang partisipatif dan diskusi untuk memecahkan masalah bisa ditemukan bersama.


Karena di satu sisi, organisasi bukanlah teknologi mesin yang mati, namun di dalamnya ada entitas dan divisi makhluk hidup yang butuh dimanusiakan demi kemanusiaan, yang pada dasar dan akhirnya demi mencapai tujuan organisasi.


Itulah mengapa menjadi pemimpin tidak boleh untuk menghindari menyebut “tiada pernah sukses hanya dengan mencukupkan diri pada satu atau dua kemampuan sebagai kualitas saja”. Selain mesti wajib mampu mendiagnosa sifat peribadi dan perilaku diri sendiri, pengikut dan situasi yang tepat untuk diaplikasikan. Di sisi yang sama, karena di zaman era mega narasi disrupsi ini memungkinkan seluruh tatanan sistem kehidupan diberi kesempatan. Organisasi atau perusahaan awalnya kecil bisa maju mengalahkan organisasi yang telah mapan dan memiliki nama besar. Disebabkan teknologi dan informasi menyediakan kesempatan yang sama kepada seluruh masyarakat industri seperti saat ini. Manusia dituntut menjadi semakin cepat dan efisien, kadang menyembelih kemanusiaan demi alasan untuk merealisasikan kecepatan dan efisiensi tadi.


Kekuasaan kemudian menemui titik persaingan di depan gelanggang kecepatan. Ketika seseorang sedang semangat dan ambisius tanpa jeda berlari maraton di medan laga, tidak jarang ia akan lupa kepada batasan, dan kawannya, apalagi kepada orang-orang yang dianggap lawan. Di situlah, kekuasaan menawarkan kenyamanan dan ke-melarut-an tiada henti, hingga sebenarnya kita sadar bahwa apa yang sedang kita cari tak lebih membentuk menjadi lingkaran; mencari untuk mencari. Menemukan kebenaran tak lebih penting dibanding mencari kebenaran. Perjalanan tiada henti, yang ada hanya letih dan dahaga kekeringan, dan kekasaran pada jiwa. Ketika kita hanya mendapatkan kepuasan fisikal-ragawi. Tidak terpenuhi dua-duanya.


Olehnya kepemimpinan adalah suatu proses. Tidak pakem dan tetap dalam pendekatan dan metodenya untuk semua situasi, setiap zaman akan membutuhkan pendekatan demi pendekatan lainnya sendiri yang sesuai dan tepat bagi konteksnya, terlebih dahulu pemimpinnya memiliki kapasitas dan kapabilitas kematangan psikologis, moral-spiritual, emosional, memiliki kepekaan sosial dan tak lupa mempunyai intelektual, untuk menyebutnya dalam istilah lain sebagai pemimpin transformasional. Seorang pemimpin yang tidak hanya memiliki dirinya sendiri, namun mempertimbangkan juga memberikan stimulus intelektual kepada para pengikutnya. Tidak lupa, seorang pemimpin harus bisa melihat kepatutan, mana aspek-aspek yang sensitif dan jelas dilarang oleh undang-undang dan mana hal-hal yang jelas dan dilegitimasi oleh aturan juga undang-undang di tanah air ini.


Pilpres tinggal menghitung hari. Sedang tarik-menarik kepentingan dan buzzers setiap paslon kiat tajam nan terkadang di luar akal sehat yang patut. Saling curiga, saling salah menyalahkan, hingga saling lapor hingga mempidanakan satu sama lain. Padahal setiap calon pemimpin, biasanya adalah cermin rakyatnya dan lingkungannya. Jika pilpres nanti akhirnya menghasilkan penguasa yang cenderung hanya menguntungkan diri, kelompok bahkan keluarganya sendiri, maka kita jauh dari cita-cita bangsa ini untuk dapat menemukan penguasa yang bertubuh dan berpikiran Sapta Karsa Hutama. Media sosial dibanjiri, fakta dan emosi. Kita tidak bisa hanya mencari data dengan hanya melalui satu sumber tertentu, sebab sekarang ini ujaran kebencian dan tarik menarik kepentingan sedang berlangsung dengan tajam dan Nampak jelas. Maka, dalam pilpres kita mengharapkan terpilihnya seorang pemimpin yang dalam pahit walaupun merugikan dirinya sendiri, namun ia akan tetap terus mementingkan kepentingan jutaan rakyatnya sendiri.


Akhirnya, selalu saja di atas organisasi atau perusahaan, bahkan negara mesti selalu berdiri di atas asas kemanusiaan; tak boleh hilang atau sengaja tidak diberikan, apalagi pura-pura lupa agar dihilang-hilangkan, pun atau lupa diri setelah duduk di kursi kekuasaan yang hanya punya periode atau sementara saja.

Tentang Penulis

Muhammad Syarif Hidayatullah, S.Hum. merupakan penyair sehimpun opus puisi bertajuk “Secarik Rindu untuk Tuhan” (2019), Esais, lulusan Summa Cumlaude di jurusan Bahasa & Sastra Inggris, UIN Alauddin Makassar. Beliau juga adalah Direktur Eksekutif @salajapustaka Institute.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Rencana Tagged With: Indonesia, Kepimpinan, pilpres, The Bangalore Principles

Pertautan Politik Perkauman, Mediokritas Pengetahuan, dan Purbasangka

May 31, 2023 By Editor The Independent Insight

Oleh: Mansurni Abadi

Perihal pilihan raya, ada suasana yang sama antara Indonesia dan Malaysia utamanya dalam taktik politik yang digunakan untuk berkempen yaitu pada soal perkauman. Perbezaan berpolitik yang seharusnya berpaksikan idea-idea bernas untuk negara, malah berubah menjadi arena untuk meruncingkan perbezaaan suku dan agama yang kemudian menimbulkan ketegangan.


Apalagi dengan kehadiran media sosial yang bukan sahaja membuat siapa sahaja boleh membuat dan menyebarkan maklumat sendiri, tetapi juga membuat mereka yang suka membuat politik perkauman untuk meraih undi semakin mendapatkan peluang yang lebih besar daripada sebelumnya.


Apalagi banyak pengguna media sosial di kedua negara serumpun ini sebenarnya tidak cakna dengan nalar kritis sehingga kehati-hatian diketepikan sementara mudah percaya dan amarah di utamakan.


Selalunya politik perkauman berkerja melalui dua hal, yang pertama memainkan naratif keterancaman dengan logik berlandasakan kita vs mereka yang pada akhirnya membuat banyak orang awam memandang sesama saudara sebangsanya sebagai musuh hanya karena perbezaan lahiriah. Seperti di Indonesia misalnya, ketika sebutan cebong (penyokong jokowi) dan kampret (penyokong jokowi) menjadi hal wajar bahkan selepas PRU hanya karena berbeza pilihan, sebutan ini tidaklah elok karena menyamakan manusia dengan binatang.


Di Malaysia pun berlaku hal yang sama, selepas PRU 2022, di media sosial muncul untuk mengulang tragedi rusuhan kaum 13 Mei 1969. Polis Diraja Malaysia sampai memberi amaran kepada mana-mana pihak yang menularkan kebencian. Barisan aktivis, NGO, dan orang awam yang masih peduli pun ikut berkempen #kitakawan untuk mencegah terjadinya rusuhan kaum.


Dan yang kedua, mengubahsuai informasi tentang suatu kes di masa lalu mahupun sekarang dengan mengaitkannya dengan suatu kaum sebagai punca penyebabnya. Dari yang kedua ini selain memunculkan miss-informasi, generalisasi, dan juga menguatkan prasangka seperti misalnya kes pengganas komunis di Indonesia dan Malaysia yang dihubungkan dengan etnik Cina ataupun teroris dengan etnik Arab seperti yang berlaku di Indonesia.


Selepas PRU, selalunya politik perkauman tidak akan usai, malah semakin menjadi-jadi dimainkan oleh pihak yang membenci kerajaan yang menang ketika bertemu dengan momentum tertentu seperti pada konser Coldplay yang dihubungkan dengan kempen LGBT yang kemudian memunculkan naratif kerajaan yang tidak cakna atau terlepas pandang meloloskan kumpulan musik berkenan tampil di Malaysia mahupun di Indonesia.


Ada banyak penyebab politik identiti, dua diantaranya adalah tentang mediokritas pengetahuan terhadap yang lain (the other) dan purbasangka. Penulisan ini akan membedah keduanya.

Mediokritas Pengetahuan terhadap yang lain (the others)

Sepatutnya kalau kurang pengetahuan pada suatu topik, pelajarilah subjek pengetahuan itu dengan seksama. Belajar tidak harus membaca buku tetapi dengan berjumpa dengan orang–orang yang memiliki pengetahuan.


Rantau ini gagal menjadi tamadun yang maju kerana salah satunya adalah akibat insan-insan yang ada dalam posisi mediokritas. Kurang gigih dalam mencari ilmu pengetahuan, kurang kritis, kurang punya standar dasar-dasar berpikir dan meneliti, kurang memacu diri untuk ada dalam standar-standar tertentu saat menjelaskan konsep-konsep. Kita bermasalah sejak kerja akal budi tahap pertama, tidak sampai mampu bernalar.


Kurangnya pengetahuan namun merasa pandai pada akhirnya membuat masyarakat rantau ini melihat kelompok lain yang berbeza itu bersifatkan stereotype. Stereotyping itu dangkal dan abai pada suara dari dalam. Yakni penjelasan Katolik menurut Katolik, Protestan menurut Protestan, China menurut China, Melayu menurut Melayu. Ahmad Wahib dalam Catatan Harian-nya pernah berkata:

Aku ingin mendengar penjelasan Islam dari Islam itu sendiri, dari nabi Islam itu sendiri, dari Tuhan Islam itu sendiri.

Ahmad Wahib, Catatan Harian.

Mediokritas pengetahuan seperti di atas itu membawa masalah, bahkan bencana bagi masyarakat berbilang kaum dan agama. Karena basisnya asumsi, prasangka. Bangsa besar dan masyarakat adil dan makmur tidak berdiri di atas tanah air prasangka.

Manusia dan Purbasangka

Prasangka adalah syarat pra-pengetahuan yang mesti ditingkatkan kepada keadaan berilmu. Syarat kehadiran ilmu yang telah diteorikan adalah suatu usaha yang berdisiplin, gigih dan berterusan yang harus dicapai oleh manusia untuk kebaikan dirinya dan statusnya sebagai manusia.


Menurut agama, manusia tidak boleh maju dan beradab jika hanya hidup dengan prasangka. Kerana prasangka itu lebih seperti waswas. Manusia yang hidup bersama itu mudah dibisikkan oleh syaitan (QS an Nas). Sebab itu kitab suci menyuruh manusia membaca dan meminta perlindungan daripada waswas yang mendorong manusia hidup dengan prasangka buruk (suuzhan).

Mengikut falsafah, sekurang-kurangnya dari pendapat Aristotle, setelah mendapat kesenangan fizikal, manusia juga mempunyai maruah (harga diri/reputasi) dan perlu mengejar akal. Manusia dahagakan intelektualisme. Dahagakan intelektualisme adalah dahagakan ilmu. Kerana manusia tidak mahu hidup dalam prasangka, tetapi mendambakan kehidupan saintifik, setelah membiasakan diri hidup secara semula jadi setiap hari


Adakah kita dalam era revolusi 4.0 ini di mana internet hadir dengan media sosial, media baharu yang menggantikan media konvensional yang berinstitusi seperti agensi berita atau stesen TV dan akhbar daripada penerbitan akhbar, dengan pembaca terhad yang boleh menamatkan era prasangka ini? Sekurang-kurangnya untuk kebaikan kita sendiri?

Persoalan ini boleh dijawab secara optimis kita dapat memanfaatkan nikmat demokrasi 4.0 sepenuhnya dan bersatu menentang berita palsu (tipuan), ucapan kebencian dan penyelewengan. Iaitu dengan menggunakan peluang mengakses internet dengan kesedaran sosial dan keselarasan dengan kepentingan umum (common good).

Masalah politik identiti, sentimen agama, budaya popular, tidak wujud dalam ruang kosong ideologi. Tidak dapat dielakkan bagaimana modal dan penguasanya dapat menentukan hala tuju perdebatan umum. Kerana itu asas ilmu tentang budaya akan mengukuhkan lagi penaakulan daripada ilmu yang cuba dijejalkan dalam masyarakat itu. Dan sudah tentu jika pengetahuan budaya telah difahami teori-teori akan mula timbul persoalan kritikal dari premis sedia ada seperti tragedi budaya, badai budaya, keganasan budaya.

Mansurni Abadi merupakan Mahasiswa Antropologi di UKM. Beliau juga merupakan Pengerusi Bidang Riset bagi Ikatan Mahasiswa Muhamamdiyah Cawangan Malaysia dan merupakan bekas Pengerusi Persatuan Pelajar Indonesia di Malaysia.

Editor The Independent Insight

Kami mengalu-alukan cadangan atau komen dari pembaca. Sekiranya anda punya artikel atau pandangan balas yang berbeza, kami juga mengalu-alukan tulisan anda bagi tujuan publikasi.

Filed Under: Politik Tagged With: Indonesia, Mediokritas, Purbasangka

‘Athirah’: Dilema Seorang Isteri

November 8, 2018 By Mel Van Dyk

sumber foto : Jakarta Globe

IMDB Rating : 7.6/10
Author Rating: 9/10

Sejujurnya jiwa saya tersentuh dengan lakonan Cut Mini Theo sebagai “Bu Mus” di dalam filem “Laskar Pelangi”. Lalu ia membuatkan saya terpanggil untuk menonton filem ini yang watak utamanya iaitu Athirah juga diterajui oleh Cut Mini Theo, di samping posternya yang penuh teka-teki.

Filem Athirah ini atau judul lainnya “Emma” di pentas internasional (atau dalam bahasa melayunya “Emak”) merupakan filem tahun 2016 arahan sutradara Indonesia, Riri Riza. Filem ini diadaptasi dari novel biografi Hajjah Athirah Kalla, iaitu ibu kepada Jusuf Kalla (Wakil Presiden Indonesia ke-12) karangan Alberthiene Endah.

Filem ini berkisar tentang kehidupan Athirah sebagai seorang isteri dan ibu bersama suaminya Puang Ajji yang pada awalnya berhijrah ke Makassar. Mereka lalu mendirikan sebuah perniagaan di Kota Makassar sehingga berjaya dan digelar saudagar paling kaya di kota itu.

Puang Ajji digambarkan sebagai seorang yang taat pada tuntutan agama dan sering menyumbang pada badan kebajikan. Akhirnya pada suatu masa, Puang Ajji sering lewat pulang ke rumah dan kadangkala kerap ke luar kota dengan alasan kerja.

Keadaan ini menimbulkan buah mulut orang ramai. Athirah mengesyaki seperti ada yang tidak kena lalu dia menyelidik perkara sebenar dengan menyoal pekerja Puang Ajji, Daeng Rusdi. Akhirnya Daeng Rusdi meceritakan bahawa Puang Ajji telah berkahwin dengan isteri yang ke dua di Jakarta.

Mengetahui hal sebenar, Athirah mula berperang dengan perasaannya sendiri. Dia berada di dalam konflik demi mempertahankan keluarga tercintanya. Puang Ajji cuba untuk memujuk isterinya dengan alasan bahawa dia tidak sesekali lupa pada tanggungjawabnya dan sering mengingatkan anak-anaknya tentang soal agama.

Kehidupan Athirah dan anak-anaknya mulai berubah.

Di sinilah titik tolak konflik kehidupan yang sering melanda Athirah serta anak lelakinya, Ucu. Akhirnya Athirah membuat keputusan untuk pulang ke kampung halamannya untuk menenangkan fikiran.

Di kampung, ibunya menceritakan bagaimana kesusahan yang menimpanya di zaman penjajah Belanda dan kisah bagaimana asal-usul keluarganya sebagai penenun kain. Dari situ Athirah tertarik dengan seni tenunan sutera dan akhirnya dia menjadi seorang usahawan kain yang berjaya. Athirah kerap membeli emas dari hasil jualannya untuk di simpan sebagai tabungan.

Pada suatu masa, Indonesia mengalami kegawatan ekonomi yang sangat teruk. Nilai mata wangnya jatuh merudum. Perniagaan Puang Ajji merosot dan akhirnya beliau tidak mampu membayar gaji pekerjanya.

Di akhir cerita, Puang Ajji kembali ke rumah dan Athirah menyerahkan kesemua barang kemas, hasil titik peluhnya kepada Puang Ajji. Melihat kesetiaan Athirah, dia tertunduk malu dan menangis.

Mesej yang dibawakan filem ini begitu jelas menggambarkan pengorbanan seorang isteri yang setia dan taat pada suaminya. Ia juga memberikan suatu gambaran bahawa poligami sedikit sebanyak mampu memberikan kesan kepada institusi kekeluargaan kerana tentangan adat dan budaya.

Filem ini telah berjaya meraih 6 Piala Citra di Festival Film Indonesia 2016. Filem ini juga telah dipilih dan ditayangkan di beberapa festival filem antarabangsa seperti Kanada, Korea dan Jepun.

Mel Van Dyk

Part time independent writer and podcaster from Sarawak, Malaysia.

Filed Under: Reviu Filem Tagged With: Asia, Athirah, Film, Indonesia

Recent Posts

  • Koleksi Refleksi di IABF: Merayakan Seni dan Sastera
  • Book Review: The Devided State: Factional Structures and the Crisis of Democracy (2025) by Joonhong Park
  • Ulasan Buku: Feudalisme: Sejarah dan Persejarahan
  • Dar al-Suhyuni: Apabila Ulama Islam Menjadi Neo-Orientalis
  • Alip Moose: “Beginilah Bila Bercakap Tak Tahu Apa-Apa”

Archives

Copyright © 2025 The Independent Insight