Alhamdulillah, selepas berhasilnya buku yang dapat kami terbitkan pada awal bulan lalu, saya menunggu-nunggu kalau-kalau ada di kalangan sahabat dan pembaca untuk bertanya dan mengkritik apa sahaja yang terkandung di luar dan di dalam buku itu.
Tiada kritikan setakat ini, mungkin para pembeli masih belum habis membaca atau tidak tahu kepada siapa kritikan itu harus di kirimkan. Malah, muncul pula soalan-soalan yang secara jujurnya tidak saya duga yang diajukan kepada saya sendiri.
Ada sahabat yang bertanya, mengapa memilih puisi berbanding corak penulisan yang lain. Tiada jawapan yang ampuh yang dapat saya kembalikan yang setimpal kekuatan soalan itu. Lalu apa yang mampu saya katakan cuma mungkin belum ada rezeki untuk mencuba yang lain.
Namun dari perasaan saya yang mendalam ini, pertamanya bagi saya puisi ini begitu unik dan indah. Kadang kala ayat yang pendek dan semacam mudah itu mampu melahirkan bermacam perasaan di benak ribuan orang yang membacanya.
Saya ambil contoh petikan dari puisi Pablo Neruda :
“So I wait for you like a lonely house
till you will see me again and live in me.
Till then my windows ache.”
Pablo Neruda, Sonnet LXV
Kedua, bagi saya puisi ini mampu merapatkan jurang keterbatasan manusia sama ada dari segi jarak, waktu mahupun budaya. Pernahkah kita terfikir bagaimana tulisannya Rumi, seorang pemuisi Parsi yang hidup pada kurun ke 12, namun namanya masyhur di serata dunia hingga kini. Walaupun karyanya telah diolah bahasa ke bermacam bahasa, namun keindahan yang Rumi tinggalkan di bait-bait puisinya tetap utuh.
Puisi yang baik mampu meninggalkan kesan kepada pembacanya. Malah ia mampu melangkaui zaman dan waktu. Sebagai contoh karyawan terkenal seperti Dante, Shakespeare,, Hamka, Wallada al-Mustakfi masing-masing di ruang waktu yang berlainan namun yang pasti hari ini orang-orang memuji dan mencari tulisan-tulisan mereka.
Related Posts
Part time independent writer and podcaster from Northern Malaysia.